Terbenamnya Ranah Keluarga dalam Novel Shayou, Karya Klasik Dazai

Zulfikar B. F.
9 min readOct 8, 2020

Perasaan terbentuk bagaikan air yang tidak bisa dibedakan berdasarkan perhitungan; jika dicampur dengan bentuk perasaan yang lain, hal itu tidak bisa kembali terbentuk seperti semula. Ketika dituang, sebagian ungkapan perasaan itu lolos dari genggaman, dan saya hanya bisa memahami yang tersisa di tangan saya.

Karya sastra adalah kanal yang menyalurkan air dari berbagai sumbernya, dan saya adalah insinyur yang mencoba membangun saluran-saluran baru untuk kanal tersebut.

Semester 7 tahun 2019 merupakan semester yang paling mengesankan. Selama berkuliah di jurusan Sastra Jepang, saya baru merasakan yang namanya ‘kuliah’ berdasarkan bayangan saya pada saat beranjak di semester 7. Sebelum itu, mungkin lebih mirip mendatangi les atau sekolah ilmu khusus dengan perbedaan janji selembar kertas bertuliskan “Ijazah” ketika lulus. Bukannya ingin mengucilkan mata kuliah lain, namun, pada semester itu saya merasa senang dapat fokus terhadap kesusastraan. “Bebas juga dari mata kuliah umum”, ujar saya sambil tersenyum solek membawa sketchbook dan bolpen gambar Snowman ke kelas.

Kami para mahasiswa penjurusan Sastra dihimbau untuk membaca buku-buku teori fiksi, novel, dan penelitian terlebih dahulu. Pikir saya, karena bukan orang yang gemar membaca novel dari kecil, pembawaan saya lebih pada arah kontemporer (baca: pop culture Jepang) dibandingkan membaca buku-buku yang tersedia di toshokan PSBJ, jadinya bingung memilih novel apa terlebih dahulu, saya melihat-lihat tanpa tujuan di bagian rak bertuliskan “Psikologi”. Di situ terselip sebuah novel yang seharusnya disusun dalam bagian rak tersebut, namun tetap menarik perhatian saya. Covernya membentuk sebuah lingkaran yang menyerupai mata hari di bagian bawah dengan latar belakang putih. Novel tersebut berjudul “The Setting Sun” publikasi Tuttle Publishings yang diterjemahkan Donald Keene. Kenapa saya tertarik dengan sampul buku tersebut? Tidak terlalu jelas dalam ingatan saya sekarang, mungkin karena ada bentuk wajah seseorang di dalam lingkaran merah yang merepresentasikan gambar matahari tersebut, saya kepikiran The End of Evangelion. Atau mungkin karena saya seringkali mendengar kata Dazai, Akutagawa, Endo dan Mishima dalam kelas Nihonbungaku Gairon. Sejak membaca novel ini, saya jadi ‘terbenam’ dalam karya tulis Dazai.

“It all returns to nothing, it all comes tumbling down, tumbling down, tumbling down.” Mungkin menjadi ekspresi utama dalam kedua karya ini.

Sastrawan kontemporer Shūji Tsushima (津島修治 Tsushima Shūji) atau lebih dikenal sebagai Osamu Dazai (太宰 治 Dazai Osamu) adalah seorang sastrawan & pengarang buku fiksi yang paling terkenal di abad 20 di Jepang. Karya-karyanya dicirikan sebagai standar klasik bagi sastra kontemporer yang memiliki ciri khas gaya semi-autobiografis dan transparansi terhadap kehidupan personalnya. Lahir di Aomori, 19 Juni 1909, karya-karya Dazai tumbuh di awal masa setelah Perang Dunia II sebagai karya sastra yang bertemakan gelap, masam dan menggambarkan situasi sosial yang tepat bagi pemuda Jepang pada masa itu dikarenakan rasa nihilisme dan kebingungan yang tumbuh dalam masyarakat setelah masa perang.

Sepanjang hidupnya, Dazai memiliki ketertarikan dengan dunia novel dan cerita pendek, dalam kurun waktu 15 tahun, Dazai mempublikasi setidaknya 25 novel, cerpen, dan kompilasi-kompilasi dari cerpennya. Karyanya yang terkenal di masyarakat Jepang yaitu Hashire Merosu (走れ!メロス Larilah! Melos), Shayou (斜陽 Matahari Terbenam) dan Ningen Shikkaku (人間失格 Manusia Gagal). Shayou dipublikasikan pertama tahun 1947 oleh penerbit Shinchosha setelah Perang Dunia II usai; novel ini menceritakan sebuah keluarga beranggotakan anak perempuan bernama Kazuko, ibunya, dan adik lelaki bernama Naoji. Keluarga ini merupakan keturunan bangsawan di Jepang yang dikarenakan perang, kehilangan gaya hidup mewah dan berbagai kekayaan lainnya.

Dalam kesehariannya, Kazuko tinggal bersama Ibu, di mana Kazuko terkadang mengingat dan berkontemplasi atas perbuatannya terhadap keluarga dan ibunya; perbuatan Kazuko tidak bisa dibilang perbuatan kriminal, bahkan mungkin lebih mengarah ke kenakalan anak kecil. Contohnya ingatan Kazuko yang mencoba membakar telur ular karena ia menganggap telur itu adalah telur ular berbisa. Lalu ketika tokoh Ibu mengingat pada saat Ayah meninggal; terlihat ular berbisa di pohon sekitaran rumah, sejak saat itu, ular dianggap menjadi simbol kematian di pandangan Kazuko dan Ibu. Bahkan saat membicarakannya, Ibu merasakan bahwa ada ular yang tumbuh di dalam dadanya.

Dikarenakan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, keluarga tersebut terpaksa pindah ke pedalaman walau masih dibantu oleh paman Kazuko, Wada. Kazuko menjadi pekerja kasar dan, Naoji — adik lelakinya yang dianggap hilang saat menjadi prajurit di Perang Dunia II, kembali ke dekapan keluarga namun memperlakukan Kazuko dan Ibunya secara kasar. Naoji menghabiskan kesehariannya mengambil uang keluarganya dan mabuk-mabukan; ia beralih ke alkohol untuk menutupi adiksinya terhadap narkoba yang ia konsumsi pada saat menjadi prajurit. Kazuko menemukan catatan pribadi Naoji berjudul Moonflower Journal (Jurnal Bunga Bulan) yang berisikan hasil kontemplasi Naoji selama ia menjalani pekerjaannya sebagai pawang dalam perang.

Setidaknya ada 13 ungkapan dalam novel yang mengindikasi Kazuko ‘menangis’ atau merasa ‘sedih’, salah satunya ketika membaca isi Moonflower Journal milik adiknya.

Kazuko jatuh cinta terhadap guru Naoji yang merupakan seorang novelis, Uehara. Dikarenakan rasa ketidakberdayaan atas kondisi keluarga yang jauh berbeda dari sebelumnya dan berbagai kegelisahan hati, Kazuko mengirim tiga surat kepada Uehara berisikan gundah hatinya dan implikasi bahwa ia tertarik dengannya, semakin lama suratnya makin terlihat putus asa dan memohon untuk menerima Kazuko, namun tidak satupun dibalas.

Suatu ketika, Ibu yang sudah sakit-sakitan sejak awal cerita semakin parah gejalanya dan mengidap tuberkulosis. Dan diambang kematian ibunya seekor ular hitam muncul di beranda; sama seperti sewaktu ayahnya meninggal. Kazuko berteriak kepada ular hitam itu, mengklaim bahwa ular itu sudah menyiksanya sepanjang hidupnya. Enam tahun silam setelah kematian Ibu, Kazuko bertemu dengan Uehara yang sekarang juga menjadi semakin tua dan sakit-sakitan. Naoji mengakhiri hidupnya sendiri, wasiat terakhirnya berisikan rasa keputusasaan dan rasa bersalah terhadap Kazuko dan Ibu yang dibaluti kesombongan dan penolakan terhadap situasi keluarga yang sudah berubah, di akhir surat ia menyebutkan nama wanita yang ia cintai dan meminta Kazuko untuk mengubur Naoji dan memakaikannya Kimono yang diberikan Ibu.

Di bagian akhir novel, Kazuko menceritakan bahwa orang-orang selalu meninggalkan dirinya, dan dengan nada penuh keputusasaan dan kepasrahan dia mengatakan bahwa ia hamil kepada Uehara. Sembari mengatakan bahwa dirinya sudah bisa merangkul gaya hidup baru yang revolusioner layaknya kebangkitan Yesus Kristus atau Roxa Luxemburg. Dan mengaku bahwa dirinya dalah korban dari masa transisi negara Jepang. Dalam surat-surat Kazuko yang dikirim kepada Uehara, Kazuko menulis “Untuk M.C” dengan berbagai singkatan seperti M.C. sebagai My Chekov, My Child, atau My Comedian.

Shayou diceritakan dalam narasi sudut pandang orang pertama dan menceritakan depiksi kondisi sosial masyarakat Jepang pada masa setelah Perang Dunia. Meskipun fiksi, dikarenakan kondisi yang berkolerasi dengan kehidupan nyata kaum tertentu pada saat itu, Shayou menjadi novel yang dikenal oleh masyarakat Jepang. Seperti ciri khas novel Dazai, ia membubuhi kejadian yang ia alami sendiri di kehidupannya sebagai referensi dari plot novel Shayou. Dalam novel cerita sebagaimana keluarga yang dulunya kaya menghadapi tantangan perubahan kondisi sosial seusai Perang Dunia II mirip dengan kondisi Dazai di mana ia merupakan anak dari seorang saudagar dan memiliki hidup berkecukupan pada masa mudanya, namun menghadapi tantangan ekonomi sejak hidupnya simpang siur dan beralih kepada alkohol, narkoba, dan prostitusi — sampai-sampai memiliki hubungan dengan partai Komunis yang dianggap berbahaya pada masa post-PD II, karena itu keluarganya mencoba mengasingkannya atas perbuatannya bahkan mengancamnya untuk tidak mengirimkan tunjangan lagi.

Tokoh Kazuko dalam Shayou menggambarkan kondisi masyarakat Jepang pada masa sehabis perang, di mana rasa khawatir dan gelisah menghantui setiap ranah keluarga, terutama untuk wanita muda, para istri, dan anak-anak; budaya ketergantungan yang menjadi fenomena masyarakat Jepang sampai sekarang masih kental terpampang jelas dalam bagian cerita di mana Kazuko mendambakan karakter Ibu sebagai ciptaan tuhan yang sangat anggun, berparas cantik, beretika, bahkan mungkin sempurna sebagai Wanita. Seperti yang tertera dalam buku Japanese Patterns of Behavior (Pola Sifat Karakter Jepang):

Telah ada beberapa perubahan setelah masa perang dalam penggambaran seorang ibu. Di mana sebelum perang seorang ibu dilabel dengan orang yang submisif dan diam; sementara setelah perang berganti label dengan yang agresif dan dominan, walau demikian seorang ibu selalu menjadi simbol ketergantungan dan pengurus seorang anak. Sang anak dalam kasus ini tidak meninggalkan atau melupakan jasa-jasa sang ibu bahkan sampai ia dewasa, berbeda dengan anak-anak negara Barat dimana mereka mencoba sebisa mungkin untuk menjadi mandiri dan lepas dari orang tuanya.” (Lebra, 1976: 58).

Adikku Naoji menceritakan bahwa kita tidak ada apa-apanya dibanding Ibu, dan aku terkadang merasa tidak tertolong dalam mencoba menirunya. Pernah, di taman belakang rumah kita di Jalan Nishikata saat malam hari musim gugur — Ibu dan aku duduk di sebelah danau melihat rembulan, Ibu berdiri dan mendekati semak belukar yang berbunga. Ia memanggilku ditengah bunga-bunga putih dengan sedikit tawa,

“Kazuko, tebak apa yang sedang Ibu lakukan.”

“Memetik bunga?”

Ia menaikkan suaranya dengan tawa yang anggun

“Pipiiis!”

Aku merasa ada hal yang sangat menggemaskan dalam dirinya dan sampai kapanpun diriku tidak bisa menirunya.

(Dazai, 1981)

Seiring berjalannya cerita, ketika Ibu jatuh sakit. Kazuko mulai memperlihatkan sifat keputusasaan dan kekhawatiran dikarenakan tidak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, Kazuko merasa bersalah atas kejadian dahulu-dahulu dan merasa bahwa penderitaan Ibunya merupakan salah dirinya. Dari pendapat saya, hal ini merupakan gambaran tepat bagi anak-anak muda yang sedang menghadapi masalah keluarga ketika seorang anggota keluarga yang dijadikan ‘idola’ sang anak jatuh sakit atau tidak berdaya — reaksi dari sang anak akan variatif, namun contoh umumnya terdapat dalam novel Dazai yang satu ini. Pada akhirnya Kazuko mencari jalan untuk meneruskan hidupnya agar bisa berkecukupan; dengan mendekati Uehara, guru dari Naoji. Saya tidak mengetahui benar motif dari alasan Kazuko jatuh cinta kepada Uehara, namun dideskripsikan dalam buku bahwa Uehara memiliki kekayaan yang cukup stabil walaupun sudah memiliki istri, dan selalu ingin membayar biaya minum-minum Naoji dikala mereka berdua mabuk-mabukan walaupun Naoji selalu menolak tawarannya. Dalam halaman akhir Shayou juga menandakan salah satu alasan Kazuko ingin Uehara menerimanya.

Di dunia yang baru ini, hal yang sangat indah adalah seorang korban.

Dan sekarangpun ada seorang korban lagi.

Pak Uehara.

Aku tidak ingin meminta apapun darimu lagi, tetapi demi si korban ini aku harus memintamu satu hal lagi.

Aku harus meminta istrimu untuk merangkul anakku, sekalipun tidak diterima, tidak apa-apa, dan biarkan aku mengatakan, “Naoji menitipkan anak ini dari hubungannya dengan seorang wanita.”

Mengapa? Itu hal yang aku tidak bisa berikan jawabannya ke siapapun, akupun tidak tahu mengapa aku menginginkannya, tapi aku sangat ingin kau melakukan ini untukku. Tolong lakukan ini untuk Naoji, ialah korban dari semua ini.

Apakah engkau kesal? Walau kesalpun, tolonglah aku. Anggaplah ini sebagai kesalahan dari seorang wanita yang ditinggalkan, dan dilupakan, tolonglah, kumohon — lakukan ini.

Untuk M.C. (My Comedian)

7 Februari, Showa 22 (1947)

(Dazai, 1981)

Rasa putus asa Kazuko semakin membesar seiring cerita berjalan. Keluarganya yang dulu berkecukupan dipaksa adaptasi dalam situasi yang tidak nyaman di tengah perang. Ibunya meninggal dalam keadaan sakit sampai dokter yang berkunjung harus berpura-pura memberi vonis sehat agar Ibu tidak sedih ketika mendengarnya. Adiknya yang tidak peduli dengan keadaan kakak dan Ibunya meninggal dalam keadaan berandai-andai, kebingungan dan tersesat dalam pikirannya sendiri. Dan rasa keberanian Kazuko untuk menyampaikan perasaannya kepada Uehara hanya terbalaskan dalam bentuk kepercayaan diri yang fana, sebuah revolusi mungkin berlangsung dalam diri Kazuko, tetapi ‘revolusi’nya tidak mengubah apapun untuk orang-orang di sekitarnya.

Mimpi buruk.

Semuanya telah meninggalkanku.

Aku mengurus segalanya setelah kematian Naoji. Selama sebulan aku tinggal sendirian ditengah rumah di dalam desa.

Dan aku menuliskan surat kepada pak Uehara yang sepertinya akan menjadi surat terakhirku, dengan rasa gagal dan penuh kesia-siaan.

(Dazai, 1981)

Untuk pembaca novel di zaman sekarang, karya ini mungkin dinilai dengan kandungan nihilisme yang besar, bahkan tidak berlebihan untuk mengatakan ‘tidak sesuai’ dengan genre populer yang gemar dibaca di kalangan remaja. Untuk para masyarakat Jepang di tahun 1947, novel ini berteriak mewakili perasaan mereka di zamannya. Unsur politik dan perang yang merajarela membuat orang-orang berbagai kalangan mengalami masa transisi ekonomi dan sosial. Struktur yang lama dirombak menjadi struktur yang baru. Jutaan perasaan gundah masyarakat Jepang dapat terkandung dalam Shayou. Judul yang cukup pintar dan mengandung unsur kritik untuk para filsuf Jepang yang mengatakan negaranya sebagai ‘Matahari Terbit’. Mungkin hanya pikiran saya saja yang terlalu kemana-mana, karena saya menganggap karya Dazai seringkali merefleksikan kehidupan personal pengarangnya. Tetap saja, saya harap saya bisa bebas dari anggapan tersebut suatu saat.

Sumber:

Dazai, Osamu. 1981. The Setting Sun, Berkeley Books: Tuttle Publishing.

Dazai, Osamu. 2003. 斜陽, Aozora Bunko. https://archive.org/details/aozorabunko_01565

Sugiyama Lebra, Takie. 1976. Japanese Patterns of Behavior, Honolulu: University of Hawaii Press. pp. 57–60.

--

--